
Di tengah penyambutan dan perayaan HUT ke-77 Kemerdekaan RI 17 Agustus 2022, Sekretaris Fraksi PKS DPRDSU, Ahmad Hadian teringat kesemarakan perayaan HUT RI saat dirinya masih kecil, yang dituangkannya dalam sebuah renungan seperti dituturkannya di bawah ini :
Doeloe zaman saya SD, SMP, dan SMA (1977-1989), 17 Agustusan benar-benar menjadi Pesta Rakyat.
Jauh-jauh hari pak Camat dan pak Kades sudah menginstruksikan kepada seluruh masyarakat untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Akses utama masuk perkampungan warga pun dipasangi gapura-gapura yang didominasi warna merah putih.
Karang Taruna dan Remaja Masjid bahu-membahu mempersiapkan penampilan heroik, yang akan ditampilkan di depan tribun utama di alun-alun kecamatan saat defile/ pawai rakyat yang meriah setelah upacara bendera.
Ada yang berperan sebagai prajurit, lengkap dengan senapan kayu dan bambu runcingnya. Ada yang jadi tenaga medis, ada juga berperan sebagai Meneer Londo penjajah. Sepeda ontel dimodifikasi sedemikian rupa menyerupai tank baja dan panser Belanda.
17 Agustus menjadi hari libur dan pesta rakyat. Semuanya sejenak meninggalkan aktivitasnya masing-masing.
Petani, nelayan, pedagang semua tumpah ruah ke tanah lapang utama di alun-alun. Mereka mengenakan pakaian bagus-bagus dan sebahagian berbusana adat.
Iring-iringan defile rakyat berkilometer panjangnya. Bapak-bapak mengusung “jampana” (miniatur bangunan terbuat dari triplex, kertas atau kayu) berisi tumpeng.
Hasil panen dan kue-kue jajanan pasar yang akan segera disantap bersama seluruh peserta iring-iringan, begitu sampai di titik akhir.
Anggota Pramuka dan PMR pun sibuk menolong para peserta upacara, bila ada yang pingsan atau kelelahan.
Sedangkan, saya menjadi langganan pengibar bendera bersama pasukan utama yang dikawal para prajurit Koramil.
Suara tabuh-tabuhan dari musik etnik bersahut-sahutan sepanjang karnaval.
Kemudian, malamnya di kampung masing-masing dilanjutkan dengan hiburan rakyat, ada wayangan, ludruk/ sandiwara, layar tancap atau jaipongan.
Sungguh, benar-benar sebuah ungkapan kegembiraan masyarakat, atas anugerah kemerdekaan.
Letih yang dirasakan terhapus dengan keriangan dan canda tawa saat memutar kembali cerita itu di sekolah, pos-pos ronda, sawah ladang dan masjid-masjid, saat menunggu waktu salat.
Semua hanya mengandalkan (menyimpan) di memori masing-masing, sebab tak mungkin (lagi) bisa melihatnya dilayar HP Android, yang punya rekaman mungkin cuma Humas Kecamatan, Koramil dan Polsek.
Semua itu, kini tinggal kenangan. Dan, saat aku berkisah tentang hal itu kepada anak-anak dan murid-muridku.
Mereka pun berusaha keras mengimajinasikan itu di ruang khayalnya masing-masing, karena mereka tak pernah mengalaminya.
Di ujung renungan, aku hanya menyisakan satu pertanyaan yang tak kunjung terjawabkan : kenapa sejak Reformasi, semua yang kualami dulu (saat merayakan Hari Kemerdekaan RI), tak ada lagi ? (Ahmad Hadian, juga seorang muballigh, penulis, dan motivator).