Perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) semakin memanas. Beijing telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menghadapi tarif impor yang diberlakukan oleh AS. Dampaknya terasa secara global, dengan ancaman resesi yang semakin nyata.
Ekspor China ke AS dikenai tarif hingga 245%, dibalas Beijing dengan tarif 125% untuk produk impor dari AS. Konsumen, bisnis, dan pasar dunia menghadapi ketidakpastian yang semakin meningkat.
Lima Kartu As China Melawan Perang Dagang AS
Presiden Xi Jinping menyatakan kesediaan berdialog, namun juga menegaskan kesiapan “berjuang sampai titik darah penghabisan” jika perlu. Berikut lima strategi kunci China dalam menghadapi perang dagang ini.
Ketahanan Ekonomi China: Pasar Domestik dan Toleransi Risiko
Sebagai ekonomi terbesar kedua dunia, China memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menghadapi dampak negatif tarif dibandingkan negara-negara kecil.
Pasar domestik yang besar, dengan lebih dari satu miliar penduduk, menjadi alternatif untuk menyerap produk ekspor yang terdampak tarif.
Meskipun konsumsi domestik mengalami penurunan, pemerintah China berupaya mendorongnya melalui berbagai insentif, seperti subsidi untuk peralatan rumah tangga dan tiket kereta api bagi pensiunan.
Sistem politik otoriter China memungkinkan toleransi risiko yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara demokratis. Tidak adanya pemilihan umum dalam waktu dekat mengurangi tekanan politik jangka pendek.
Namun, keresahan publik tetap menjadi perhatian, terutama terkait krisis perumahan dan sulitnya mencari pekerjaan, khususnya bagi generasi muda yang hanya mengenal masa kemakmuran ekonomi China.
Pemerintah China memanfaatkan sentimen nasionalisme untuk membenarkan kebijakannya dan menyerukan persatuan menghadapi tantangan ini.
Investasi Jangka Panjang di Sektor Teknologi
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, China telah berinvestasi besar dalam pengembangan teknologi domestik. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi asing dan memperkuat posisi kompetitifnya.
Investasi tersebut mencakup berbagai bidang, termasuk energi terbarukan, chip, dan kecerdasan buatan (AI).
Contohnya adalah kemunculan chatbot DeepSeek sebagai pesaing ChatGPT dan BYD yang mengalahkan Tesla sebagai produsen kendaraan listrik terbesar di dunia.
Beijing baru-baru ini mengumumkan rencana investasi lebih dari US$ 1 triliun selama dekade berikutnya untuk mendukung inovasi di bidang AI.
Perusahaan AS kesulitan memindahkan rantai pasokan mereka dari China karena kurangnya infrastruktur dan tenaga kerja terampil di negara lain.
Keunggulan China dalam rantai pasokan dan dukungan pemerintah menjadikannya pemain tangguh dalam perang dagang ini.
Diversifikasi Perdagangan dan Pelajaran dari Masa Lalu
Sejak dikenainya tarif terhadap panel surya China pada tahun 2018, Beijing mempercepat diversifikasi perdagangannya.
Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) memperkuat hubungan dengan negara-negara berkembang di Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Afrika.
China mengurangi ketergantungan pada impor kedelai dari AS, yang sebelumnya mencapai 40%, dan meningkatkan produksi domestik serta impor dari Brasil.
Strategi ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada AS, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan China.
Dominasi Perdagangan Global dan Tekanan melalui Obligasi AS
China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi 60 negara pada tahun 2023, jauh lebih banyak daripada AS.
Meskipun AS tetap menjadi mitra dagang penting, posisi dominan China di perdagangan global membuatnya lebih sulit untuk ditekan.
China memegang obligasi pemerintah AS senilai US$ 700 miliar, memberikan pengaruh tertentu, meskipun para ahli memperingatkan konsekuensi dari penjualan atau penghentian pembelian obligasi tersebut.
China juga menguasai produksi dan pemurnian unsur tanah jarang, yang krusial untuk teknologi canggih. Pembatasan ekspor unsur tanah jarang menjadi senjata penting dalam perang dagang ini.
Ketergantungan dunia pada China untuk unsur tanah jarang memberikan pengaruh signifikan bagi Beijing dalam negosiasi perdagangan.
Perang dagang AS-China telah menciptakan dinamika kompleks dengan berbagai strategi dan konsekuensi yang luas bagi perekonomian global. Kemampuan China untuk menghadapi tekanan AS akan terus menjadi fokus utama dalam hubungan bilateral antara kedua negara tersebut.